Di Dalam Kamar Operasi Itu

Saya belum pernah merasakan tajamnya pisau operasi seperti apa. Jadi waktu-waktu sebelum memasuki ruang operasi sungguh waktu yang menakutkan buat saya. Pagi itu, 1 Juli 2014 pukul 07.30 WIB saya di dorong menuju kamar operasi. Perasaan saya campur aduk tapi yang pasti saya banyak berdoa dalam hati :). Di dalam kamar operasi sendiri, suasananya sungguh dingin, ya suhunya, ya environment-nya. Saya merasa terasing. Lonely dan somehow ngerasa aneh gitu.

di tengah kegalauan yang membuat saya sungguh nggak nyaman, dokter anastesi yang bernama dr. Hassan Husssein SPAN pun datang. Saya diminta untuk duduk dan membungkukkan tubuh bagian atas ke depan. Saya nurut aja sih walo rasanya udah lemas banget. Ini lemas bukan karena kondisi fisik tapi karena kondisi psikis. Sesungguhnya saya masih kurang rela harus sesar.

Suasana hati yang seperti itu sepertinya berpengaruh sama keadaan tubuh. Dua kali aja jarum anastesi harus disuntikkan ke tulang ekor saya karena yang pertama entah kenapa gagal. Duh, mana saya ini takut jarum. Jadi begitu dibilang harus diulang suntikannya, yang ada saya mewek.

Suster menenangkan saya dan berkata bahwa saya harus tenang. Jika tidak tenang maka tekanan darah bisa naik dan operasi pun harus ditunda. Baiklaaaah, dengan mengumpulkan sisa-sisa ketenangan yang berserakan di dalam hati, saya pun tersenyum. Lalu jarum anastesi yang dingin itu pun leluasa menusuk tubuh belakang saya dengan saya sedikit begidik nyeri.

Setelah itu saya diminta tiduran kembali dan dr. Hasssan sepertinya melakukan sesuatu ke perut dan kaki saya tapi saya nggak ngerasain apapun. Dr. Hassan pun tersenyum. Kemudian datanglah 3 dokter lainnya. dr. Budi Susetyo, SPOG, obgyn saya yang sekaligus mengepalai operasi SC ini, dr. Victor Mannopo yang merupakan asisten operasi SC dan dr. Hadi Suprodjo, SPA yang merupakan dokter anak.

Para dokter menyapa dan saya pun menyampaikan beberapa keinginan saya (sebenarnya mengingatkan sih karena sebelumnya saya sudah pernah menyampaikan hal ini) yaitu agar para dokter gentle, tidak ribut dan juga minta supaya plasenta tidak langsung dipotong saat bayi lahir alias delay clamped cord. Dokter Budi yang pengertian menyetujui permintaan saya, walaupun untuk delay clamped cord hanya dapat ditunda sekitar 10 menit. Ya lumayanlah daripada nggak ada. Kenapa saya meminta delay clamped cord? Di dalam penelitian yang dikeluarkan The Cochrane Library berjudul Effect of timing of umbilical cord clamping of term infants on maternal and neonatal outcomes (Review) dikatakan bahwa tali pusar itu mengandung zat besi yang dibutuhkan bayi. Jadi kalau tali pusar langsung dipotong maka bayi nggak mendapatkan zat besi tambahan tersebut. Penundaan 10 menit cukup untuk menyalurkan zat besi dari plasenta ke tubuh bayi saya nantinya.

Setelah sapa-menyapa selesai, para dokter pun bersiap melakukan tugasnya. Dada saya ditutup kain vertical sehingga saya tidak bisa melihat bagian perut. Lalu saya pun memandang ke atas. Ke langit-langit. Tapi sungguh, itu keputusan yang saya sesali. Di atas itu ada lampu besar yang saking besarnya jadi kayak cermin. Kelihatanlah perut saya ditoreh-toreh cairan merah. Lalu saya pun mual dan pusing. Mendadak sedih sekali. Lagi-lagi karena ngerasa seharusnya proses kelahiran itu nggak begini.

Karena nggak kuat, akhirnya saya minta agar mata saya ditutup saja. Kemudian saya pun menangis berlinangan air mata. Minta maaf berkali-kali ke bayi saya. “Maafin mami ya nak, kamu mesti keluar dengan cara seperti ini.”

Saya tidak tahu lagi dokter ngapain aja. Saya benar-benar merasa terpisahkan dari tubuh saya sendiri. Nggak berdaya. Tangan saya diikat, saya benar-benar merasa this is not the way.
But, for this is the best way
, mari jalani. Jadi saya menghibur-hibur hati sendiri. Beruntung musik klasik yang terdengar dari headphone yang telah saya persiapkan sebelumnya sedikit menenangkan hati.

Saat suster menyeka air mata saya dan pikiran saya melayang-layang, mendadak saya mendengar suara Sebastian (bayi saya) menjerit keras. Dan saya pun langsung nangis kejer. Dalam hati teriak… “Aku mau anakkuuuuu. Mana anakkuuuu. Manaaaa… Udah pengen banget ketemu.”

Saya menunggu sekitar 10 menit untuk delay clamped cord dan tes APGAR setelah itu baru Sebastian ditaruh di dada saya untuk IMD (proses IMD ini nanti akan saya tuliskan terpisah). Saat kulit Sebastian menyentuh kulit saya, saat tubuhnya ada di dada saya, saat saya akhirnya bisa melihat bayi yang saya kandung 9 bulan lebih itu… Saya tak mampu berkata apa-apa… SPEECHLESS. Ambyaaaaar… Dan saya menangis tersedu-sedu.

Setelah itu saya mengajak Sebastian ngobrol. “Naaak, akhirnya kita ketemu. Naaak, mami sayang kamu. Nak, kamu sehat? Sini ada mami di sini, kita nikmati dunia ini sama-sama ya.” Sebastian menjawab dengan tangisan. Dan saya juga menangis. Ya sudah, habis itu ya nangis sahut-sahutan sampe saya bindeng.

Lalu karena saya terdengar bindeng pas ngajak ngobrol Sebastian, salah satu suster yang ada di belakang hendak meenghentikan proses IMD karena dikiranya saya pilek. Saya belum menjawab, eeeh suster yang dari tadi di depan langsung bilang, “itu bindeng karena ibunya nangis terharu dari tadi.” Dan susternya ikut nangis liat saya sesegukan sambil elus-elus bokongnya Sebastian.

Gusti…. gini ya rasanya melahirkan. Sungguh saya merasa nggak ada apa-apanya gitu. Surrender to the greater power who managed this universe.

Sesungguhnya di dalam kamar operasi itu bukan hanya anak saya yang lahir, lahir juga seorang ibu.

38 respons untuk ‘Di Dalam Kamar Operasi Itu

  1. joice helena berkata:

    terharu bacanya kak *seka air mata
    jadi ingat pesan mama, jangan durhaka sama orangtua, terutama sama mama..

  2. niee berkata:

    Sesungguhnya di dalam kamar operasi itu bukan hanya anak saya yang lahir, lahir juga seorang ibu.

    yep.. dan dunia kitapun berubah 🙂

  3. Bieb berkata:

    Hihihi..jadi inget pas ga berapa lama dokter anestesi menyuntikkan obat bius, kemudian dia mencubit kaki saya. Sembari bilang “Ga sakit kan?” Spontan saya ketawa. 😀
    Btw, memeluk anak yg selama ini cuma bisa dilihat lewat monitor USG itu emang bikin terharu sekali ya mba’. Spontan jadi nangis. 🙂

  4. Natalia berkata:

    Suka banget kata-kata kamu di penghujung tulisan ini Ka 🙂 peluk

    “Sesungguhnya di dalam kamar operasi itu bukan hanya anak saya yang lahir, lahir juga seorang ibu.”

  5. Wiena berkata:

    Ah… Jadi inget kedua anakku yg lahir sesar…
    Yg pertama agak gak terima krn siap normal. Yg ke dua krn jaraknya dekat jadi sudah dipersiapkan kalau dokter gak mau terima VBAC. Aku bok ya gemeteran dingin di dalem sepanjang operasi (-_-“)

  6. Swastika Nohara berkata:

    Wow… jadi punya sedikit bayangan ttg proses kelahiran dg c section. Syukurlah semua sehat ya Ka.

  7. Oline berkata:

    Ngeliat pisau dan darah di perutmu jadi merasa bersalah ya mak? Hehehee….
    Sukurlah yang penting semua sehat ya mak. Aku jadi punya gambaran melahirkan SC itu spt apa 🙂

  8. citramanica berkata:

    Aku dulu malah seneng banget pas mau c-section… Udah niat mau lahiran normal, tapi setelah 24 jam dengan kontraksi yang ampun2 dan bukaan 2 gak nambah2, akhirnya c-section deh. Asli bahagia banget pas disuntik anestesi di punggung itu, beberapa detik sesudahnya rasanya aku terselamatkan dari rasa sakit, haha…. Badan jadi anget, dan mungkin saking senengnya gak merasa sakit lagi, sampe2 semuanya seperti terlihat keemasan, gitu ya rasanya lagi ‘high’, haha…. Anak kedua aku langsung minta c-section lagi deh…. Gak mau lagi ngerasain sakitnya kontraksi 😉

  9. echaimutenan berkata:

    hehehe baby blues ya… tenang aja…membesarkan anak tidak sebatas cuma melahirkan…perjalanan kita sebagai orang tua malah baru dimulai.. ^^
    biarin aja yang sok2 normal atau sok2 sesar..yang penting kita dan anak sehat *kasi kacamata kuda

  10. dWi (@Ki_seKi) berkata:

    “Saat suster menyeka air mata saya dan pikiran saya melayang-layang…”
    bisa ngrasain apa yg kamu rasain waktu itu sai, ntah lah….aku mau nulis apa jg gk tau….yg ada dalam pikiranku skrg
    Alhamdulillah……

  11. serinda berkata:

    Aku juga ngerasain itu, saat suntik anestesi rasa kontraksi yang maha dahsyatnya hilang seketika. Buatku, proses kelahiran seorang anak mau normal atau sc sekalipun tidak mengurangi rasa perjuangan dari seorang ibu:-) proud to be a mother, fellaz;)

  12. dhee berkata:

    i feel you…
    aku pun rencana normal tapi ternyata harus cesar…
    sampai menjelang masuk kamar operasi masih belum terima kalau harus menjalani operasi.
    masih belum rela…

    tapi inget lagi semua buat kebaikan si baby, nggak bisa berpegang pada idealisme jadinya…

    and yes, it was so damn freaking cold in there…
    tapi tim operasinya menyenangkan, sampai tangisan si baby terdengar…
    and nothing else matter 🙂

    semoga bastian sehat selalu yaaa

Komentar ditutup.