Satu hal yang saya pelajari beberapa bulan terakhir adalah memberikan ruang dan kesempatan untuk menyelami setiap perasaan (emosi) yang datang dan saya rasakan.
Jadi kalau sedih, instead of cari-cari kegiatan biar senang, saya membiarkan diri saya menangis, meratap atau bahkan bergelung di kasur.
Kalo marah, instead of mengalihkannya dengan tidak memikirkannya, saya menuliskan amarah saya.
Kalo kecewa, instead of mengubur perasaan tersebut, saya ajak diri saya berdialog. Jujur mencari akar kekecewaannya apa.
And so on, and so on. Dan mengidentifikasi serta menerima semua perasaan yang datang (tanpa resisten) itu benar-benar mempermudah hidup. Just go with the flow and life will find its own balance way. It’s relieving.
Tapi kemarin ada satu perasaan yang membuat saya bingung bagaimana harus menyikapinya. Jadi saya menerima kabar bahwa salah satu kolega di kantor (yang terkenal dengan mulut tajamnya) di-BAP. Entah sudah berapa banyak hati orang-orang yang terluka karenanya, oh dan tentu saja saya pun pernah menjadi korban siletannya meskipun (as usual) saya memilih diam menyingkir. Namun kali ini ia bermasalah dengan orang lain yang mau meladeninya ke jalur hukum dan akhirnya ia mendapat akibat dari perbuatannya sendiri.
Setelah berbulan-bulan menjalani pemeriksaan, akhirnya hasil keputusannya keluar. Saat mendengar kabar itu, ada bagian kecil dari diri saya sempat berucap, “You deserve it, mulutmu jahat sih selama ini. Makanya, baik-baik jadi orang.” Sempat juga berpikir… Mungkin gak sih ini hasil kumpulan doa yang diam-diam dipanjatkan orang-orang yang selama ini pernah dia lukai? Tapi sebentar saja saya merasa begitu. Nurani kecil di sudut hati mengingatkan bahwa tidak sepatutnya bergembira atau bersyukur atas penderitaan orang lain (meskipun ia pernah menyakiti) seperti yang tertulis di I Korintus 13:6.
Nah, sampe di sini saya sempat gamang.

Demi kesehatan, semua emosi sebaiknya diberikan waktu dan kesempatan untuk dirasakan. Namun menurut iman Kristiani yang saya percayai, emosi yang satu ini tidak boleh diberi tempat. Setelah berdiam sejenak, akhirnya saya memilih jalan tengah. Menuliskan ini untuk acknowledge emosi tersebut. Tidak mengingkari, tidak menguburnya, tetap menyapa perasaan ini namun hanya sebentar saja. Kemudian menutupnya dengan doa-doa baik bagi kolega dan juga bagi saya sendiri. Semoga pada akhirnya nanti saya bisa ada di level mengamalkan ayat pada I Kor 13:6 tersebut tanpa kegamangan. Yah, namanya juga manusia biasa, bukan malaikat. Hal kayak ini manusiawi banget, namun yang panting kan terus berusaha menjadi lebih baik. Betul? 🙂
Satu respons untuk “Jalan Tengah”