Dalam bayanganku, kalo aku sampai Jakarta lagi kita bisa bertemu lalu saling cerita lagi mengenang masa muda kita dulu. Masa saat masalah terbesar hidup itu cuma tugas kuliah dari Bu Ratna, dosen killer matkul Statistik yang cantik jelita itu. Yang meski parasnya ayu tapi tak pernah segan kasih nilai D bahkan E buat mahasiswanya. Masa saat patah hati itu obatnya naik gunung berhari-hari lalu pulang dengan perasaan lebih ringan. Aku masih ingat sorot mata resahmu di penghujung sore saat memutuskan ikut kami naik ke Gunung Gede. Tanpa sungkan langsung nimbrung (tentu saja tanpa patungan biaya nanjak -adatmu emang gitu- hahaha). Tapi itulah teman ya. Siapa yang lagi ada ya bayarin aja duluan gitu. Nggak itung-itungan. Kan setia kawan!
Masa saat cara membunuh waktu itu gitaran di pinggir pantai dan rambut kusut masai diterpa angin Rawamangun yang ganas itu. Masa di mana makan enak itu cukup dengan soto di Kantin Blok M aja (tentu sambil cari proyek terjemahan dari para mahasiswa pasca sarjana yang kebanyakan duit tapi kekurangan waktu).
Kupikir, kita bisa mengulang celoteh saling cerita seperti itu. Tapi ternyata malaikat lebih dulu memanggilmu. Lebih dulu ingin bersua denganmu.
—-
Lif, lu udah duluan pergi. Ery juga udah nggak ada. Tinggal gue sama Nila, geng naik gunung kita dulu. Lif, tenang jalanmu menuju keabadian ya. Terima kasih untuk waktu masa muda yang pernah kita habiskan bersama dulu. Terima kasih untuk nyanyi-nyanyi bareng sambil nunggu kelas sore mulai. Terima kasih untuk semua kecerewetan lu nasehatin gue. Terima kasih untuk kebersamaan kita.
Selamat beristirahat dalam keabadian. Tadi gue dateng sama Dina dan Harris, melepas kepergian lu. Air mata gue nggak berhenti menetes. Hati gue remuk. Lif, selamat jalan ya.