Ngadi Saliro, Ngadi Busono

Saya sering mengantarkan mamak ke modeste untuk menjahitkan baju saat kecil dulu. Busana mama saya banyak banget dan rata-rata luar biasa: kain sutra yang dijahit halus menjadi kebaya (lengkap dengan selendang dan bross-nya), songket dengan taburan payet cantik yang memesona hingga pakaian-pakaian kerja batik yang anggun.

Selain busana, mama saya juga senang memesan sepatu. Saya ingat, sering kali sepulang gereja kami pergi ke tukang sepatu di daerah Cipinang. Mama memesan customed shoes berbahan kulit dengan model dan warna yang ia sesuaikan ke pakaian yang ia jahitkan. Kalau mamak lagi ada rejeki banyak, saya juga boleh memesan sepatu di sana. Whoa, buat anak kelas 4 SD ini sungguh menyenangkan sekali! Punya sepatu model unik dan eksklusif: cuma ada satu, saya doang yang punya. Hehehe. 😛

Baca lebih lanjut

Real Joy after Shifting Paradigm

Sekitar 3 mingguan ini, pekerjaan dan kehidupan pribadi saya lagi sibuk-sibuknya. Demanding. Yeah, kayak pacar posesif aja LOL 😛 Selesai rapat jam 8 atau 9 malam itu hal yang biasa. Lalu pulang terus pas sampe rumah masih mengerjakan peran sebagai ibu dan istri -baca buku bareng anak atau sekedar menyiapkan cemilan malam buat suami-. Abis itu baru bisa punya waktu untuk diri sendiri. Pas akhir pekan juga sulit istirahat karena ada aja keluarga yang melahirkan, sakit, kedukaaan dan macem-macem lagi lainnya.

Saya sempat limbung for I felt there are so many things I have to do, yet there’s so little time. Gerah, pengennya ini semua cepet selesai aja. Akhirnya saya buat to do list for both my job and personal life. Total ada 23 item yang harus saya kerjakan mulai dari bikin analisa, review draft aturan, rapikan instrument survey sampai list beli kado dan jadwal jenguk teman atau keluarga. Padat, padat, padaaat. Pengen buru-buru dikelarin. Pengen punya ritme hidup normal seperti sebelumnya. Jadiiiii…. Itu 23 item saya kasih deadline mesti kelar dalam 1 minggu 😀

And…. ZONK! :mrgreen: Hahaha. Saya nggak hepi, burn out berada dalam tekanan bahwa ini semua mesti cepat kelar.

Baca lebih lanjut

I Love the Way You Combed My Hair

Sedari kecil rambut saya selalu panjang. Hanya 1x saja rambut saya dipotong bob pendek sebatas tengkuk saat kelas 1 SD. Sebelum dan setelahnya, bahkan hingga saat ini rambut saya selalu melebihi pundak. 😊

Yang menyenangkan dari rambut panjang adalah rambut jadi bisa dimacem-macemin. Yeay! Back to kindergarten and elementary, I was one of those kids with stylish hair in school 😂. Sudah populer dari kecil, thanks to my mom! Lol.

Baca lebih lanjut

Antara Nyoblos, Ngambek dan Traktiran

Tepat dua minggu lalu, Rabu, 14 Februari 2024, bertepatan dengan hari kasih sayang, saya telah menunaikan kewajiban sebagai warga negara bersama dengan penduduk Indonesia lainnya yang telah cukup umur: Nyoblos, bok!

Waktu itu, hujan cukup deras mengguyur Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh Nusantara mulai dari Selasa malam hingga pagi. Akibatnya, genangan air bahkan banjir terjadi di beberapa tempat. Cuaca dingin dingin ditambah aroma therapy yang nyaman di dalam kamar, asli bikin saya mager. Males banget keluar dari bawah selimut. Sambil bermalas-malasan, saya cek WAG keluarga. Bapak saya dengan semangat ’45 sudah rame saja mengingatkan buat datang ke TPS.

Sedikit bercanda, saya bilang ke bapak kalau saya mau golput saja.

Baca lebih lanjut

I Think About Death

a lot lately. Beberapa orang yang berkesan di hati dari masa kecil saya satu-persatu dipanggil Tuhan.

Salah satunya adalah tetangga 3 rumah dari tempat mama saya tinggal alias rumah masa kecil dulu. Saya biasa memanggilnya Namboru (Tante) Siahaan. Ia buka warung sehingga dulu saya sering mampir buat jajan atau beli garam/gula/telur disuruh mama saya. Nah, karena buka warung itu pula maka kami sering menitipkan kunci rumah di warungnya. Yeah, kami nggak taruh kunci di bawah keset, di pot bunga atau di atas kusen pintu tapi dititip. Rumahnya selalu terbuka, kami bebas datang kapan saja oleh karena itu intensitas komunikasi kami betul-betul sering.

Baca lebih lanjut

Pilar-pilar Masyarakat

Hari ini kami pergi ibadah pagi di gereja kecil kami. Gereja yang sudah menaungi jiwa kami bertahun-tahun lamanya. Saya mengenal para pengerja gereja dari mereka muda belia hingga sekarang mereka sudah mendekati usia hampir setengah abad. Melihat sendiri perubahan para diaken gereja yang dulu berambut hitam dan sekarang sudah berubah menjadi putih semua seperti uban di kepala bapak saya. Wajah-wajah familiar yang menenangkan hati. Rasanya teduh dan tentram berada di suatu komunitas penuh stabilitas seperti ini.

Orang-orang ini melayani dengan sepenuh hati. Mereka menjenguk jemaat yang sakit, konsisten berdoa dan berpuasa bagi bangsa serta negara serta semua isi dunia. Mereka punya hati khusus dengan berkunjung ke rumah para lansia, tak lupa mengirimkan renungan harian bagi semua anggota gereja. Luar biasa, ada orang-orang yang memang dipanggil untuk menjalankan peran tersebut. Saya sih nggak mampu. Saya merasa ini memang bukan panggilan saya. Tapi ya mereka berbeda.

Ibu Gembala tadi mengingatkan kembali tentang komitmen mengikut Yesus beserta tanggung jawab dan konsekuensinya melalui himne ini

Di saat dunia berputar demikian cepat, para pengerja gereja ini menjadi perekat dan pengingat bahwa Tuhan bekerja melalui manusia. Tuhan jamah hidup banyak orang melalui pelayanan mereka sehingga jemaat yang sedang sibuk tetap merasakan sentuhan Tuhan melalui hal sederhana secara nyata. Salut bagi mereka yang memang dipanggil dan menerima panggilan Tuhan serta terus berpegang teguh pada komitmen pelayanan untuk menjadi salah satu pilar religi di masyarakat. God bless!

*Just a thought on one fine Sunday afternoon

Merawat Orang Sakit

Sudah saya ceritakan sebelumnya kalau selain karib dengan Rosita, saya juga akrab dengan keluarganya hingga saat ini. Tante Yayat, mamanya Rosita sesekali menyapa saya via WA sekedar bertanya kabar, demikian juga sebaliknya.

Seperti sore ini, Tante Yayat cerita soal impian-impian Rosita yang tidak terpenuhi sebelum dipanggil Tuhan. Hati saya ngilu dan sedih. Rosita pengen umroh kalo udah kembali ke rumah katanya. Tapi memang waktu itu tidak ada yang bisa kami lakukan karena info dari dokter yang bilang kalo harapan hidupnya hanya 6 bulan saja kami sembunyikan dari Rosita. Sementara dalam 6 bulan itu kondisinya terus menerus makin memburuk.

Lalu memori saya berputar kembali ke tahun 2015 saat saya sesekali curi waktu ijin dari kantor untuk menemaninya kemo.

Baca lebih lanjut

Positivity

Baru-baru ini saya diprotes rekan kerja yang bilang katanya saya terlalu positif. I was like, “What did I do? What does that mean?”. Melihat saya kebingungan dan nggak paham, atasan saya memberikan beberapa situasi dan meminta saya dan teman berkomentar atas situasi tsb. Hanya untuk memberikan contoh agar saya mengerti.

Boss: “Si Mawar ini kalau dikasih kerjaan selalu aja nggak beres, aku harus berulang kali jelasin baru dia paham.”

Teman: “Emang orangnya susah konsentrasi Pak. Kayak ada hal lain lagi dipikirin gitu.”

Saya: “Bukannya kemarin bapak lagi kasih tugas *** juga ya, mungkin nggak fokus karena multitasking.”

Boss: “Si Mawar dan Melati minta dinas bareng sama Asoka (public enemy yang suka tebar racun).”

Teman: Jangan dikasih Pak, daripada Asoka nanti ngeracunin mentalnya mereka.

Saya: Si Mawar kan kuat di IT, Melati kuat di analisa, mungkin biar tim-nya solid, Pak, makanya mereka minta bareng?

Teman dan boss saya geleng-geleng kepala lalu bilang, “Dari sini kamu paham nggak? Tendensimu itu melihat hal baik dari setiap orang dan situasi even there’s nothing good again from that situation!” Saya nyengir dengar komentar bos saya itu :mrgreen:

Baca lebih lanjut