“Behind closed doors are the stories of the people who lived and loved and struggled. Behind every closed door is another world where the past doesn’t die.” – anon-
Secara tak sengaja saya ketemu dengan seorang seleb di sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan. Ia sedang menunggu anaknya sementara saya sedang menunggu kedatangan rekan kerja dan akhirnya kami jadi ngobrol santai. Saya sudah kenal lama dengan seleb ini dan sudah beberapa kali kerja sama. Ia adalah salah satu orang yang saya kagumi dari segi parenting hingga gaya hidupnya.
Nggak berapa lama, anaknya datang dan mereka terlibat perdebatan yang cukup alot. Saya agak nggak nyaman karena merasa berada di tempat yang salah. Ya, kejebak keributan itu nggak enak toh. Namun saat saya hendak beranjak pergi, perdebatan mereka selesai dan sang anak melenggang keluar mau beli makanan dan bilang akan balik lagi. Kadung berdiri, saya pun permisi sama sang seleb tersebut.
“Saya pamit ya, Mbak.”
“Lho mau ke mana buru-buru? Temennya belum datang kan?”
“Eh anuh, gpp. Saya nunggu di lobby aja.”
“Kamu gak enak ngeliat tadi?” Tanyanya lugas merujuk pada perdebatan dengan anaknya. Seleb ini emang terkenal blak-blakan, kalo ngomong nggak pakai malu-malu. Dengan salah tingkah saya mengiyakan kesimpulannya.
“Gpp. Itu biasa kok. Udah sini aja.” Katanya lagi dengan suara tegas menunjukkan dominasi. Yang kok ya tetap saya turuti (Duh, Ekaaa. Hahaha). Saya pernah berjanji sama diri sendiri kalau saya tidak mau lagi didominasi tapi ya old habits die hard yaaa.
“Kenapa? Kaget?” Tanyanya lagi.
“Iya. Di sosmed kayaknya nggak pernah ribut, Mbak. Aku kaget.”
“Lha kamu itu…” Jawabnya sambil tertawa. “Yang ditulis di sosmed ya yang baik-baik aja. Ngeyelnya anak gue, keras kepalanya dia, nyablaknya dia atau berantemnya gue sama anak gue, nggak gue tulislah. ‘Coz it’s behind a closed door!” Ia berceloteh dengan penuh semangat. Kemudian ia bercerita soal pengalamannya menjadi ibu dan gimana parenting anaknya. Saya manggut-manggut mendengarnya sambil mengagumi kejujurannya.
Dalam perjalanan pulang saya diam lama sekali. Betul-betul lama. Saya merenung. Tiap orang punya banyak sekali sisi kehidupan. Keputusan sisi mana yang dipilih ditampilkan bisa saja dipengaruhi oleh siapa audiensnya. Jadi kalo ke orang A, sisi manis yang ditampilkan. Kalo ke orang B; sisi tegas, sementara ke orang C sisi manjanya. Sah-sah aja. Bebas aja karena itu sebuah pilihan. Nggak ada yang salah karena itu hak pribadi. Nggak semua hal perlu diumbar toh? Bebas aja mana yang dipilah buat ditunjukkan di sosial media.
Anw, apa yang terjadi di balik pintu antara dua manusia dewasa itu juga rahasia. Bisa saja kejadiannya lebih dari yang diketahui publik, bisa juga bahkan lebih jauh lagi dari itu. Yang pasti masa lalu tak pernah mati apalagi ketika sudah pernah ada histori. Sisi mana yang ditunjukkan ya suka-suka aja.