Kemarin sore saya chat dengan Tante Yayat, mamanya Rosita, sahabat karib saya dari zaman awal kuliah dulu. Saking karibnya, bahkan setelah lulus kuliah pun kami memutuskan bekerja di kantor yang sama agar tetap bisa terus akrab bersahabat. Nggak tanggung-tanggung, hingga 2 kantor banyaknya. Saat saya pindah ke kantor kedua, Rosita juga ikut pindah. Untung ada lowongan saat itu.
Kami bersahabat lama, belasan tahun, seharusnya puluhan tahun jika Tuhan mengizinkan. Sayangnya Tuhan lebih sayang Rosita, ia dipanggil pulang duluan di tahun 2015 saat persahabatan kami menginjak tahun ke-17. Beruntung, saya sempat menemaninya di masa-masa kemoterapi beberapa waktu lamanya. Saat Rosita meninggal, saya sedih. Hidup seolah mengambang untuk beberapa waktu. Pahit banget rasanya. Saya menangis sampe air mata kering, saya memanjatkan doa berkali-kali untuknya, saya menuliskan perasaan kehilangan saya di laman blog ini banyak sekali: menyesali waktu kami yang telah habis dipaksa takdir.
Bicara soal waktu yang habis, kemarin juga saya stumble sama twitnya Mbak Denald yang ini:

Ndilalah pas. Namun kali ini bukan karena takdir, tapi karena keputusan saya sendiri mengakhiri pertemanan yang telah lama terjalin. Alasannya sederhana tapi kompleks namun benang merahnya: Saya ingin bebas mengekspresikan diri tanpa harus ditekan ini gak boleh, itu gak boleh dan dipaksa mempertimbangkan perasaan orang lain terus-menerus. Lha perasaan gue gimana? I really wanna be free.
Akhirnya, Selasa, 26 Desember 2023 pkl. 17.25 saya sampaikan ke teman saya itu kalau saya ingin melanjutkan hidup. Sendiri. Tanpa teman itu lagi. Ia tak lekas menjawab.
Tentu ini bukan keputusan mudah buat saya, tapi daripada makin hari makin tertekan maka saya bilang gitu padanya. Jawaban darinya muncul 4 hari kemudian yang menyatakan kesepakatannya. Mungkin sudah tak dilihatnya lagi peluang untuk bisa terus melanjutkan persahabatan karena saya betul-betul berkeras, akhirnya ia mengiyakan. Saya memang bisa sekeras kepala itu kalo sudah punya kehendak.
Bisa saja saya membatalkan keputusan ini jika saya mau, karena kami sudah bersahabat lama sekali. Sayang kan persahabatan sudah terjalin lama terputus bukan karena takdir. Pun dalam rentang beberapa hari tsb ia mencoba mengubah keputusan saya itu. Tapi hati ini sudah bulat. Saya katakan padanya, bahwa kepedulian saya tulus dan ketulusan yang paling hakiki adalah ketika saya memanjatkan doa untuknya (tanpa perlu berkomunikasi lagi dengannya).
Kata kuncinya sih: jika saya mau. Tapi saya nggak mau lagi. Jadi ya teman saya itu tidak punya opsi lain lagi selain setuju dengan keputusan saya dan melanjutkan hidupnya sendiri dengan apa yang tersisa (yang mau sama dia).
Anw, saya bersyukur, prosesnya nggak lama, nggak drama. Jauh di lubuk hati, ia tetap sahabat saya. Pernah menangis bersama ketika terlukai oleh orang lain, pernah tertawa bersama merayakan pencapaian-pencapaian saya dan masih banyak lagi. Tapi mungkin sepertinya kali ini sudah cukup ππ Saya ingin bebas mengekspresikan diri. Dalam 6 tahun ini ia sudah kehilangan 3 sahabat dekat: 1 teman cewek, 1 teman cowok dan yang terakhir adalah saya. Still, I wish my friend the best. Semoga sahabatnya yang tersisa dapat menjadi support systemnya.
Ohya, selamat menutup tahun 2023 teman-teman. Semoga tahun 2024 Tuhan berikan kejayaan dan kebahagiaan. Dikelilingi orang-orang baik dengan energi baik dan dijauhkan dari energy vampire. God is good, all the time.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.