I Love it All

I love putting on make up to my face. It looks good, I feel good.

I love dressing up, covering myself with lovely clothes. It made me happy.

I love wearing high heels and skirt. I feel sexy and joyful.

I love reading books and enjoying my own company. I feel content.

I love being hugged. I feel safe.

I love being driven even though I can drive. I feel spoiled.

Yet, I am fine with my bare face or doing things by myself. I am okay with PJs and flip flop also some crowds. I love it all.

Spread Love Not Hate

“Kamu tau apa arti kafir?””Tidak,” jawab saya bingung kenapa tiba-tiba saya ditanyai apa arti kafir.

“Sekarang ini kata kafir sudah dibuat lebay sama para politisi. Kalo kamu tidak percaya sama iman saya ya kamu itu kafir! Sama aja, kamu memanggil saya domba tersesat kan?” Katanya dengan nada bertanya yang agak meninggi.

Saya hanya tersenyum mendengarnya. Ada logical fallacy di sini; terjadi pengambilan kesimpulan secara deduktif dengan menggunakan frame pemikiran yang diinginkan; karena ia memanggil saya kafir maka saya memanggil dia domba tersesat? Lha kok jadi ia yang memutuskan hal itu? Memangnya ia itu saya?

Tapi yang terlebih penting dari itu semua adalah soal toleransi. Saya bersyukur saat masih SD dulu diajari oleh guru PMP untuk dapat bertenggang rasa dan memilah mana perkataan yang bisa dikatakan kepada semua orang dan mana yang untuk kalangan sendiri. Balik ke soal kofar kafir… Tidak, saya tidak tersinggung. Ini justru jadi tambahan reminder buat saya. Kalau kata John Lennon dulu, “marilah kita menjadi orang yang lebih banyak menyebarkan cinta daripada kebencian.”  Kata-katanya emang lawas, tapi masih kekinian buat digunakan. Ada penggemar John Lennon di sini?

Note: Ini foto lama yang diambil di Kalibiru, Yogyakarta tahun lalu. Fotonya emang lama tapi kisahnya sih baru-baru aja terjadi.

Who Needs Who?

Seminggu lalu saya dirawat di rumah sakit, diopname karena suatu hal. Adakalanya saya down banget dan kesel setengah hidup. Selain mesti menanggung sakit yang nggak ampun-ampunan, saya juga mesti menjalani banyak pemeriksaan. Dari satu pemeriksaan ke pemeriksaan lainnya. Capek. Melelahkan. Dan di saat-saat seperti itu kadang saya jadi ngelantur.

“Kalo aku mati gimana?” Tanya saya ke suami yang sedang duduk istirahat di sofa di sebelah ranjang saya.

Sontak wajah Adrian berubah saat saya menanyakan hal tersebut. “Don’t, please don’t.” Jawabnya singkat sambil berdeham.

“Kenapa?”

Adrian berdiri dan berjalan menghampiri saya. “I don’t think I can live without you.” Suaranya tercekat. Ia diam sambil mengenggam tangan saya kemudian berkata lagi, “Aku… Umm… Aku pernah membayangkan gimana kalau kamu nggak ada lagi di dalam hidupku… Dan aku tahu aku nggak sanggup. Aku nggak bisa.”

It was a short conversation, but it arouses a question to my mind. Who needs who? Selama ini saya selalu berpikir kalau saya yang nggak bisa hidup tanpa suami saya. Saya yang manja ini, yang super duper ceriwis dengan segudang kisah dan selalu senang saat melihat raut wajahnya ketika mendengarkan saya bercerita. Saya yang sering banget minta ini itu. Saya yang gede ngambeknya. Saya pikir…. Saya yang nggak bisa hidup tanpanya. Tapi Adrian? Suami saya itu begitu mandiri, tidak banyak menuntut, saya pikir tanpa saya pun ia akan dengan tenang melanjutkan hidup. (Tentu berduka sebentar, tapi ya abis itu lalu bisa melanjutkan hidup lagi). Tapi ternyata enggak gitu juga… 🙂 Hmmm hidup nikah itu memang begitu ya… Seiring waktu, sejalan dengan banyak momen yang dilalui bersama maka kami menjadi semakin tidak terpisahkan. Menjadi semakin melebur sehingga memang akan terasa lain tanpa kehadiran belahan jiwa. We need each other.

P.S. I love you, suamiku.

But… You’ve Got All My Heart.

“Bang, I think I should’ve gotten a reward.”
“Reward? What? Why?”
“Well… Last Friday I accompanied you working over time till almost midnight, on Saturday and Sunday I was in your office the whole day. An this Monday I drove 60km to accompany you for half day meeting. I, then demand a reward.” 🙂
“But… You’ve got all my heart. That’s not enough?”
……

20130709-202939.jpg

*A conversation over a sushi last night, one that made me want to kiss him right away* 😀

Effective Morning

Cara efektif buat ngebangunin suami tanpa terlihat kejam:

Wakey, wakey sleepy head! ;)

Wakey, wakey sleepy head! 😉

1. Cuci muka dan cuci tangan pakai air kamar mandi yang dingin.

2. Tanpa handukan, tempelkan wajah yang dingin itu ke pipi suami dan peluk dia pakai tangan yang nggak kalah dingin itu.

Pada saat suami melek sambil teriak-teriak, “whoaaaa apa nih? Kok dingiiiiin?”

{asanglah senyum manis karena misi romantismu membangunkannya dengan cara elegan mencium dan memeluknya telah sukses. :mrgreen:

*tapi ya harus siap mental dipelototin habis-habisan*

Selamat mencoba daaaan… You’ve been warned! Hahaha